Menulis tentang pertunjukkan AriReda di Teater Kecil semalam akan sulit jika tidak menyertakan cerita tentang perjumpaan pertama saya dengan mereka di Sukabumi. Mungkin memang sudah takdir Tuhan, saya yang tadinya tidak berencana kemping di Rrrec Fest malah diundang menjadi narasumber temuwicara disana. Bersyukur luar biasa karena akhirnya menemukan duo ini, duo yang sudah berkarir di rentang waktu yang sama dengan umur saya dan selama itu pula mereka berada di luar radar saya.
Tidak hanya saya, beberapa teman juga di hari yang sama mengalami pencerahan. Salah satunya Dimas Ario yang fotonya dipinjam untuk artikel ini, salah satunya lagi yang tercerahkan lebih jauh adalah Felix Dass. Felix Dass ini menjadi produser event semalam. Tidak melupakan tentu saja jasa besar Indra Ameng dan Keke Tumbuan yang berani membawa duo ini jauh-jauh ke Sukabumi, termasuk juga mengajak duo ini bermain di beberapa venue unik. Salah satunya adalah di sebuah gereja tua di Menteng.
Juga karena duo ini pulalah saya mengenal ketua fans club AriReda sedunia; Dharmawan Handonowarih. Kita sering berdiskusi mengenai berbagai hal berkaitan dengan AriReda, membahas puisi, membahas tulisan, membahas proses berkarya dan lain-lain. Mungkin juga karena di trigger oleh DHW ini maka AriReda ini kembali bersemangat.
Maka malam kemarin, bukan sekedar pesta peluncuran album “AriReda Menyanyikan Puisi” namun juga semacam silaturahmi. Di malam kemarin, saya menonton AriReda bersama-sama dengan orang-orang yang bersama-sama duduk di depan panggung mereka di Rrrec Fest In The Valley 2014. Mereka-mereka ini juga yang sering saya jumpai kalau menyaksikan konser AriReda, bisa jadi ini adalah anggota-anggota AriReda Fans Club.
Bersama-sama juga kita menyaksikan silaturahmi kesenian dari beberapa kolaborator AriReda, karena ada pak Sapardi Djoko Damono yang mendeklamasikan 3 buah puisi. Dua diantaranya memperkuat kepercayaan saya pada kekuatan bahasa, yang satu bertema kematian seorang mahasiswa di tahun 1996 dan satu lagi tentang Marsinah buruh arloji. Yang satu lagi saya sudah lupa.
Kedua puisi itu membangkitkan kembali diskusi kecil didalam diri saya mengenai identitas dan eksistensi sebuah pribadi yang kadang maknanya hanya menjadi sekedar nama untuk identitas kesenian.
Kolaborator berikutnya adalah Jubing Kristianto, yang untungnya tidak diberikan kesempatan lama bermain solo. Karena walaupun memang super keren, tetapi malam sudah semakin larut dan saya rasa bisa ketiduran terbuai permainan gitar Jubing.
Kolaborator-kolaborator yang disebutkan tadi memperkuat pertunjukkan AriReda di Teater Kecil dan demikianpun kekuatan pertunjukkan kemarin adalah di kesederhanaan dan harmonisasi dari Ari dan Reda. Permainan gitar yang efisien dan efektif tidak berusaha menyaingi merdunya suara Reda, termasuk vokal Ari yang tidak pernah berusaha mendominasi saat keduanya berharmonisasi.
Dengan subtle pula, tata cahaya yang ada juga efektif dan efisien. Jelas yang terlibat di acara ini adalah mereka-mereka yang sudah akrab dengan pertunjukan di auditorium.
Akhir kata, setelah lewat dua lusin lagu saya teringat ucapan pak DHW “Mereka itu kawin secara musikal”, dan memang demikian adanya. Anak kedua mereka baru saja lahir beberapa waktu lalu, dan tanggal 26 Januari 2016 adalah syukuran hari pertama.
ps: Tetangga Pak Gesang juga asoi.