Beyond Productions and Hard Rock Café Jakarta
Presents
Interlude #7
Discus
Sepertinya bukan hal yang berlebihan, bila kemunculan Discus via album pertamanya “1st” (1999),
merupakan salah satu momen penting bagi perkembangan musik Indonesia. Band yang terbentuk
atas gagasan dua sahabat, Iwan Hasan (gitar) dan Anto Praboe (klarinet, saxofon) pada tahun 1996
ini, seperti memberi angin segar sekaligus kontroversi. Kita ingat saat itu album pertama band yang namanya diambil dari jenis ikan hias tersebut, diklaim dengan banyak nama jenis/genre musik . Ada yang mengklaim fusion, jazz rock, ekperimental, rock alternatif, sampai istilah progresif. Semata karena dirilis oleh sebuah label yang biasa merilis album jazz, maka kebanyakan mengklaim Discus sebagai group jazz atau fusion. Nyatanya gegap gempita sambutan pada Discus justru banyak terjadi di luar negeri ini. Respon positif pasar Eropa dan Amerika mengangkat nama Discus di pentas musik internasional. Dan mereka lebih suka menyebut musik Discus sebagai progresif. Terbukti band berpersonel awal: Iwan Hasan, Anto Praboe, Fadhil Indra (keyboards, perkusi etnik), Kiki Caloh (bass), Hayunaji (drum), Eko Partitur (biola), Nonie (vokal, perkusi), dan Krisna Prameswara (keyboards) ini banyak diundang festival-festival musik progresif rock besar di luar negeri.
Sebut saja event besar dan bergengsi macam ProgDay dan BajaProg, pernah disambangi Discus.
Belum lagi lawatan berupa tur di Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, dan lain-lain. Tak heran bila Discus seringkali dinobatkan sebagai ‘band progresif asia terbaik’, atau bahkan album-albumnya langganan dianugerahi sebagai produk-produk terbaik di kelasnya. Ya tentu, semua apresiasi tersebut datang dari negara-negara di luar Indonesia.
Lalu balik lagi, jadi sebenarnya mana yang benar soal apa musik yang disajikan Discus selama ini? Apalagi ketika album kedua “Discus… tot Lich” (2004) dirilis, pengkategorian musik Discus makin tak jelas. Karena semua genre bisa Anda temukan di sana: rock, jazz, pop, klasik, progresif, bahkan grindcore melebur jadi sesuatu yang baru dan ciamik.
Coba kita cek pernyataan mereka sendiri di situs resmi juga Facebook band kreatif ini: “Tekad sejak awal adalah menciptakan musik yang tidak mengenal batas, melintasi sebanyak mungkin batas
pengkotakan genre musik dan menciptakan sebuah style yang original dengan influences yang luas dan berbeda-beda… “.
Yup, itulah yang sebenarnya dimaknai oleh Discus terhadap musiknya sendiri. Bahwa pelabelan
atau penamaan atas sebuah warna musik, dalam sejarahnya, bukan dari grup itu sendiri. Mereka (band/ musisi) semata bereksperimen, berkreasi, menjunjung orisinalitas, namun media lah yang memberi nama tersebut sebagai sebuah genre yang pada saat itu, saat grup juga warna musik tersebut muncul, merupakan sesuatu yang baru. Begitu juga Discus. Musik mereka sudah “beyond genres”
Jadi Vakum Formasi Discus terhitung stabil, hanya terjadi pergantian posisi vokal antara Nonie, kemudian Yuyun sejak album kedua dirilis. Di tengah kesibukan pribadi dan proyek musik tiap personelnya (Discus memang terdiri dari para musisi yang sebelumnya sudah dikenal aktif dalam industri musik lokal), Iwan Hasan cs tetap mampu kesolidan formasinya. Ini membuat kualitas mutu musikalitas Discus juga tetap terjaga.
Sampai akhirnya Discus kehilangan salah satu founding father-nya. Anto Praboe wafat Mei 2010, sebuah peristiwa yang tidak hanya membawa duka para personel Discus, tapi juga masayarakat musik
Indonesia. Praktis sejak ditinggal almarhum, Discus langsung kehilangan sebagian nyawanya. Band jawara ini lunglai dan vakum.
Puncaknya, motor grup yang juga gitaris dan vokalis grup, Iwan Hasan mengundurkan diri pula
tak lama setelah wafatnya almarhum Anto.Seperti tak ada harapan Discus akan bangkit kembali. Bahkan beberapa personel yang tersisa sempat menyatakan bahwa supergroup ini sudah bubar!
Tapi apakah memang sudah seperti itu kenyataannya? Kami menyatakan tidak! Uji resistensi Discus kembali membuktikannya. Ternyata Krisna Prameswara, Fadhil Indra, Hayunaji, Eko Partitur,
Yuyun, dan Kiki Caloh, tetap bertahan dan membangun kembali Discus yang sempat vakum tersebut. Mereka mendapat darah segar dengan masuknya Noldy, gitaris yang sudah cukup lama eksis asal
Malang, mengisi posisi yang ditinggalkan Iwan Hasan. Formasi baru inilah yang kemudian mengajak kerja bareng Beyond Productions untuk membuat konser pertama Discus setelah ditinggal Iwan Hasan dan Anto Praboe. Sebuah momen yang tak kalah pentingnya dengan sederet prestasi Discus sebelumnya.
Maka dilingkarilah Minggu, tanggal 23 Oktober 2011 sebagai momen bersejarah bagi musik
Indonesia, dengan muncul kembalinya Discus dalam sebuah showcase di Hard Rock Café Jakarta. Discus menjadi penampil dalam event regular bulanan hasil kerjasama Beyond Production dan Hard Rock Café bertajuk Interlude. Catat waktunya: 15.00 WIB atau 3pm/sore. Selain Discus gelaran Interlude ke 7 ini akan di buka oleh sebuah band progresif lain yang bernama ATTILLION.
Maka di Interlude #7 ini, Discus tak hanya tampil dengan formasi baru, beberapa musisi tamu,
lagu-lagu jawara mereka, dan bukan tak mungkin juga memperkenalkan lagu baru untuk album mendatang mereka. Sebuah gig istimewa? Ini momen “super spesial”! Wajib sifatnya untuk datang dan menikmati kembali kedigdayaan Discus plus komposisi-komposisi kreatifnya.
Datang dan nikmati!