MONO adalah band post-rock asing pertama yang pernah saya tonton secara langsung, yaitu ketika Jakarta Rock Parade, 13 Juli 2008. Dan langsung saja mereka mengubah pandangan saya terhadap band instrumental post-rock saat itu. Menonton mereka seperti menaiki rollercoaster, emosi kita ikut naik turun mengikuti mood yang mereka bangun melalui lagu yang mereka bawakan.
Jumat, 6 Mei 2001 kemarin, saya akhirnya berkesempatan untuk menyaksikan mereka kembali dalam rangkaian tour Asia mereka di Singapore. Dan satu hal yang bisa saya katakan dari awal adalah, menonton mereka sangat setimpal dengan memecahkan celengan babi saya untuk bisa mengongkosi saya berangkat menuju Singapore..hehehe..
Sampai di venue sekitar pukul 18.30 waktu setempat, suasana masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang tampak berkumpul. Tapi semakin lama, semakin banyak pengunjung yang berkumpul menunggu pintu masuk dibuka. Tampak juga banyak dari mereka yang dengan antusias menyerbu stand merchandise dari MONO.
Tepat jam 19.30, pintu masuk pun dibuka dan saya bergegas masuk untuk mendapatkan spot untuk bisa menjalankan `ibadah` saya hari itu dengan baik dan khusyuk. Zouk, yang sebenarnya adalah club yang biasanya dipakai untuk tempat acara-acara per-DJ-an, disulap menjadi tempat konser yang intim, dengan tidak adanya barikade yang menghalangi panggung dengan penonton dan juga tinggi panggung yang berkisar hanya 50 – 60 cm saja.
Pukul 20.30, Satu per satu band member menaiki panggung. Penonton di dalam venue sendiri tampak semakin penuh dan mereka berteriak begitu mendapati MONO langsung membuka penampilan mereka malam itu dengan lagu `Ashes in The Snow` dari album terakhir mereka, `Hymn To The Immortal World’. Begitu intro dari lagu itu terdengar, langsung saja bulu kuduk saya berdiri. Dan yang terjadi setelah itu adalah apa yang saya katakan awal tadi, perjalanan menaiki emotional rollercoaster.
Setelah itu, berturut-turut `Follow the Map` dan `Burrial at the Sea` dibawakan. Terus terang saya hampir tidak bisa mengendalikan emosi saat itu. Ambience yang mereka bangun benar-benar bisa dibilang tanpa cacat. Saya rasa, sebagian besar penonton saat itu juga merasakan hal yang sama dengan saya. Dengan lagu yang tanpa vocal, mereka mampu menyajikan sebuah pertunjukan yang sama sekali tidak membosankan.
Duo gitaris, Yoda dan Goto, benar-benar mampu membius penonton dengan sound yang mereka hasilkan. Tamaki, bassis sekaligus pemain keyboard pada beberapa lagu, juga tampil dengan aktraktif, hampir sepanjang penampilan dia tidak bisa diam dan bergoyang mengikuti irama lagu. Sementara Takada menjaga beat dengan permainan drum yang sangat rapid an konstans, mengingat durasi dari setiap lagu MONO yang lebih dari 6 menit bahkan bisa mencapai 15 menit.
Penampilan Goto malam itu patut menjadi titik perhatian lebih. Sangat terlihat bahwa lead guitarist ini merupakan dirigen bagi lagu-lagu yang dibawakan oleh MONO. Sesekali dia juga dengan sangat bernafsu memanipulasi sound-sound dari jajaran efek stompboxes-nya. Beberapa kali juga dia dengan tiba-tiba berdiri dari kursi dan menendang kursi tersebut. Bahkan gitarnya pun tak luput dari sasaran pelampiasan emosinya.
Total 9 lagu yang mereka bawakan malam itu, termasuk ‘Halcyon (Beautiful Days)’ dan `Moonlight` yang sangat mengaduk-ngaduk emosi dan satu lagu encore malam itu, `Everlasting Light` yang menjadi penutup yang sangat sempurna. Hasil yang saya dapatkan malam itu adalah kuping yang pengang dan sebuah perjalanan rohani yang tidak mengecewakan sama sekali. Terimakasih banyak untuk Kitty Wu Records yang telah menyelenggarakan acara ini.
Anthono Oktoriandi
Photo by: Muhammad Asranur
Mono, satu kata dari saya untuk mendeskripsikan musik mereka, GALAu 🙂
Ya,hanya kata itu yg sering terlintas ketika mendengarkan musik mereka baik audio maupun video… Kapan Indonesia bisa memiliki MONO sendiri? 🙂
NB : itu catatan tanggal performancenya apa nggak salah masbro? kok di situ ditulis tanggal 6 Mei 2001 🙁
Mohon maaf jika saya salah melihat 🙂 Salam