Walau akhir pekan banyak menggoda dengan pilihan acaranya di tanggal 30 April – 1 Mei 2016, tapi di kedua hari tersebut saya memantapkan langkah ke Mondo Cafe, Fatmawati. Acara yang digelar kolektifan Noise Whore mempunyai daya tarik lebih kuat. Baik dari pemilihan tanggal hingga mengkurasi band yang mengisi line-up. Mereka membangunkan tidur panjang AGGI dan The Porno di hari sabtu. Mengajak Ramayana Soul untuk membakarkan dupanya kembali di hari minggu.
Sebelum masuk, di depan parkiran melihat sekumpulan anak-anak dengan logat Jawa Timur salah satunya menegur saya. Dia Windrata Faizal vokalis dari unit post-punk/darwave Surabaya bernama Cotswolds. Mereka bermain di hari pertama bersama nama-nama baru Soft Blood, Peonies, dan Mutombo. Dan memberi tahu bahwa acara ‘ngaret’ karena sempat kena kendala teknis tempat. Tapi, sayangnya saya pun melewatkan aksi Soft Blood dan melihat Peonies sudah siap dengan kostum Doraemon. Diisi oleh salah satu pemuka indie pop lokal bernama Jodi Setiawan (yang dulunya memiliki band bernama Jodi In The Morning Glory Parade) memainkan dream-pop yang kental dalam struktur musiknya. Mengendapkan unsur Wild Nothing era Gemini. Dilanjuti gerombolan gelombang gelap asal kota Sambal Bu Rudy, Cotswolds, tampil kurang maksimal karena masalah teknis sound. Mereka juga membawakan materi baru seperti “Only In Shadow” dan “Marra”. The Porno melanjutkan tongkat estafet penampil. Berbalut seragam hitam-hitam memang sudah menjadi ciri khas mereka. Bisa dibilang inilah salah satu target yang berhasil ditembus Argia Adhidhanendra selaku founder Noisewhore untuk membawa mereka ke acara Noise Whore Vol-002.
Kolektif ini telah lama dibentuk dia bersama teman-teman sejawatnya. Bermula dari zine sekolah lalu berpindah ke media internet berupa tumblr. “Gue terpengaruh sama perkembangan zine era 2010’an, zaman Heyfolks masih di Mayestik dan kami lebih banyak membahas soal musik. Sempat mau bahas film tapi terlalu lepas dari pakemnya” ujar Arghi pria gondrong berkacamata sekelibat mengingatkan saya dengan Xandega, bassis Polka Wars. Noise Whore Live ini kali kedua yang mereka gelar. Sebelumnya pernah mengundang deretan nama seperti Bedchamber, Low Pink, hingga TaRRkam.
Seusai The Porno, melihat gitaris handal seperti Pandu Fuzztoni tidak berpindah tempat malahan meduduki kursi drum menjadi pertanyaan besar buat saya. Ditambah Peter Andrian Walandouw (Damascus) dan Alvi Ifthikhar turut gabung bersama beliau. “Ini Mutombo nih??? Yah, dia lagi… dia lagi….” sontak teriakan penonton sehabis lagu pertama dibawakan. Memang, Mutombo memperkenalkan ke publik dunia maya lewat bandcamp hanya menggunakan moniker seperti Budi, Anto, Joko, dan bikin penasaran siapa otak dibalik band ini? Dijawab sudah di malam itu. Anti-klimaks pun terjadi sewaktu membawakan lagu terakhir dan gitar milik Peter tidak nyala total, mengambil keputusan untuk menyudahi penampilannya. Setelah ulasan ini dikabarkan Mutombo menyatakan bubar dari jagat musik sampai waktu tidak ditentukan. Sehabis itu ada AGGI yang langsung mengkooptasi panggung. Terakhir melihat mereka di Mondo Cafe yang waktu itu masih berlokasi di Kemang. Masih tetap terdengar manis walau menjadi penampil terakhir.
Argia mengaku bahwa dalam proses mengkurasi band dia serahkan kepada teman-temannya juga. Sewaktu ditanya apa kalian merugi atau tidak? Dia tidak terlalu perduli akan situasi itu, nyatanya ini acara tanpa sponsor dan seratus persen dikerjakan berdasarkan passion dari mereka masing-masing.
Kalau hari pertama lebih sering disuguhkan nuansa dream-pop sampai indie rock 90’an, di hari kedua raungan distorsi hampir mendominasi penuh ke dinding telinga kalian. Dibuka oleh grup anyar bernama Bising Kota yang memiliki nuansa seperti Heinrich Manuver, dengan Erlangga Ishanders (atau akrab dipanggil Angga) dari Ramayana Soul sebagai penggebuk drum pengganti. Lalu ada Feast selalu tampil tidak mengecewakan tiap saya lihat penampilannya. Piston pun melanjutkan alur acara ini. Sangat senang melihat Yulio Abdul Syafik telah kembali mebetot bass semenjak masa penyembuhan patah lengannya. “Hakim Tak Berpalu” pun menyulut keriuhan kecil seketika. Seusai mereka, para personil r e k a h sudah terlihat mengambil posisi masing-masing. Ini merupakan Ritus ketiga milik mereka. Penampilan yang didramatisasi oleh sang vokalisnya menjadi nilai plus. Bagaimana tidak terlalu drama? Ketika melihat lirik-lirik dingin dimuntahkan bercampur aksi Faiz Alfaressi (vokal) beraksi menaiki tangga hingga keluar ke balkon. Seperti saya bilang diatas, Ramayana Soul kembali membakar dupanya petanda dibukanya pintu Dimensi Dejavu. Karena factor sound kurang memuaskan, tapi totalitas yang mereka kerahkan perlu diapresiasi. Noise Whore Vol 002 ditutup oleh seklompok muda menamakan diri mereka Circarama. Walau terbilang muda mereka menunjukan kesolidan antar personil.
“Gue sih pengen mengajak Pestolaer reunian” pungkas Argi ketika ditanya siapa yang ingin (atau cita-cita) diundang untuk Noise Whore Live. Konon kolektifan ini juga mempersiapkan sesuatu yang spesial untuk volume selanjutnya. Penasaran? Ditunggu saja Noise Whore Vol 003.
Photos: Damar Anjar