Sebuah observasi 5 tahun.
Saya hanya manusia tentunya. Persepsi “biasa atau luar biasa”nya, semua tergantung dari perspektif dari diri sendiri yang sering kali bias dan subjektif, maupun- walau gengsi- objektif. Untuk adilnya suatu objektifitas, kadang penilaian karakter, hasta karya maupun ideologi kita dari orang ketiga, dibutuhkan untuk menjadi parameter tambahan. Dimana kita bisa menerima, menelaah dan mengkaji penilaian tersebut untuk memperbaiki diri, bila memang manfaat. Atau sejujurnya, kita sebagai manusia yang selalu memakai “topeng tersenyum”, akan menorehkan garis lengkung ke bawah pada topeng tersebut dan mencaci maki penilaian itu, baik langsung maupun tak langsung, untuk lalu meneruskan metode yang kita anggap “sahih”.
Ironisnya dalam kebiasaan masa, walau kadang kita sendiri, yang secara sadar maupun tak sadar, adalah pihak yang meminta penilaian itu -dalam bentuk penolakan- kita sebagai “orang timur” di bentuk untuk menyetujui penilaian-penilaian tersebut di depan tirai putih tipuan rasa “nerimo” .Namun memuntahkan sumpah serapah penuh imbuhan yang mudarot, bahkan bukan saja pada “ponten” nilai yg di imbuhkan, tapi menyerang karakter sang penilai sebagai pemuas ego yang terhujam batu karang laut mati, di belakang tirai hitam kejujuran rasa dendam . Dan bagi saya hal yang terakhir itu seharusnya dianggap sebagai tindakan dan kebiasaan yang “Taik kucing!”.
Di band band PolkaWars lah, setidaknya dari perspektif saya, seruan itu menjadi suatu falsafah hidup mereka untuk tidak berada di lingkar hadapan tirai apapun. Dan menghunus pedang tantangan yang berkarat, bila memang perlu, pada saat itu juga, dimanapun juga.
Terbilang empat manusia muda penuh hasrat birahi kehidupan yang seringnya tumpul direjam keraguan yang agresif, penuh bertumpah ruah dengan ideologi garis keras majemuk-tunggal anti-konservatif non liberal dengan keabshan pengetahuan-pengetahuan dasar–mutakhir tanpa lini masa yang baru saja menghampiri mereka, bersepakat untuk menyusahkan umur mereka yang masih dini dan membentuk sebuah perhelatan musik kongregasi, bertajuk “PolkaWars”.
Mereka terdiri dari empat sahabat yang berasal dari anyaman pendidikan yang sama di Al-Izhar, sebuah sekolah swasta bernuansakan Islam di bilangan Jakarta Selatan. Tersebutlah, Billy Saleh, Giovanni Rahmadeva, Karaeng Adjie, Xandega Tahajuansyah, yang terus berperang melawan diri mereka sendiri dan satu sama lainnya untuk mencapai suatu kesepakatan yang takkan pernah mufakat dan terus berjalan mencaci maki , dengan berbagai ungkapan kasar dan kotor, bahkan di tengah berbagai khalayak umum tanpa pandang bulu dan memuji satu sama lainya dengan keseimbangan yang menghasilkan suatu hasta karya yang cemerlang, mencengangkan bahkan bagi seseorang yang sedang dalam tahap pemulihan dari penyakit schizophrenia sekalipun, dan memilih untuk menjadi sakit kembali.
Karena ketertarikan untuk menelaah kejanggalan antara cinta dan benci, yang tidak pernah berhujung dengan sakit hati ataupun dendam dalam suatu persekutuan, di sini saya bermaksud untuk menjabarkan suatu fenomena yang unik untuk saya pribadi. Dari empat hantu blau yang berkutub pada empat arah mata angin, yang pastinya tak akan berkiblat pada titik tengah namun bisa berembuk dalam empat elemen alam, yang tentunya juga, takkan bisa mewujud tanpa satu maupun lainnya.
Tanpa menjadi patokan sifat yang pakem, karena ini semata-mata hanya perspektif saya pribadi, kategori sifat arah mata angin dan elemen alam, yang saya beri nama “Fleksibilitas Kuadran Delapan” akan menjadi basis utama runutan karakter mereka masing-masing. *catatan: ambil fakta diri yang cocok dan gabungkan, apa salahnya? ☺
4 arah mata angin:
Utara: bahagia, gempita, penerang, bersimpati/apatis, extrovert, retoris, mengarahkan ke cakrawala yang berbinar
Selatan: pemurung, nestapa, gelap, berempati, introvert, realis, mengarahkan ke cakrawala yang temaram
Barat (kiri): radikal, pemberontak, agresif, pragmatis, imaginatif, anti stagnasi, komunitarian, egaliter, aventurir, semi liberal, sampai liberal penuh.
Timur (kanan): konserfatif, submisif, pasif, kompromis, akademis, dogmatis, selektif, primordial, orientatif kekeluargaan, non-liberal.
4 elemen alam:
Api: merah, marah, agresif, temperamental, radikal, menjalar dan menjangkiti, penerang, hidup pada masanya sendiri, beketergantungan.
Tanah: coklat/kuning, padat, penuh, kuat, mudah dibentuk, keras, kompromis. Bekertergantungan.
Angin : kasat mata, lembut, mengarah ke berbagai penjuru, sejuk, memberi nafas dan dorongan, kuat bila perlu, damai bila saatnya, beketergantungan
Air : biru/bening, cair, masuk ke berbagai bentuk ruang dan segi, tertampung, meluap, sejuk dan panas, bergantung untuk bergerak, sangat kuat bila perlu, memadamkan dan membasuh, mencari hilir menuju luas.
Mari dimulai.
Billy Saleh:
“Tanah berangin yang terbakar di tenggara”
Billy Saleh mempunyai sifat yang bisa dibilang sangat baik, sopan dan terkesan berkultur “indonesiana orde lama” pada saat pertama berkenalan dengannya. Bertutur kata santun, pelan dan halus, penuh tanya dengan hasrat yang terpendam akan keingin tahuannya yg luhur. Dan kerap kali akan sedikit mengambil intisari dari segala edukasi sosial yang terserap dan membuat karakter baru di dalam jiwanya. Sementara atau seterusnya, tergantung akan edukasi baru yang berfaedah atau tidak buat dia.
Namun di tengah senyumannya yang “manis”, pembenci hari minggu yang kompulsif-impulsif ini, terdapat misteri kepedihan berpilu mesra dengan nestapa, yang hanya dia yang tau dan alami. Penuh amarah terpendam dan kekecewaan ketika semua ekspektasi kepada apapun juga yang dia anggap luhur dan mulia menjadi usang dan karam. Dia akan terdiam penuh dendam durjana namun terlalu pasif untuk tidak menyimpulkan kekesalannya, apabila ketidak-adilan menyerang kenyamannya. Menyebabkan kesengsaraan tanpa resolusi yang selalu dia harapkan namun tak berhujung. Dia menerima kekalahan itu tanpa agresi. Malah seringkali dia meminta maaf tanpa manfaat bagi dia maupun yang bersangkutan, karena memang tidak ada kesalahan yang terjadi dari dia.
Tapi semua itu bisa terobati dengan kesabarannya dalam menghadapi kegilaan dan konflik di teman-temannya dengan banyolan absurd yang mana tidak selalu relevan untuk situasi tersebut, namun cukup menghibur dan menyejukkan suasana dengan kejanggalan “moronic”, yang dia sebabkan. Kuat berpendirian, namun rendah hati dan setia kawan, dia akan melaksanakan tugas yang di embankan kepadanya sebaik mungkin. Dia bisa di bilang cukup bisa diandalkan oleh siapapun saja yang mempercayakan itu kepadanya. Mungkin ketidakinginnannya untuk mengecewakan, berakar dari ketidakinginannya untuk dikecewakan. Menjadi beban stigma yang di obligasikan ke dirinya.
Kadang kesopanannya berubah menjadi kekasaraan dalam tutur kata yang tidak menimbulkan amarah dari pendengar, malah tawa dan candaan yang berlanjut dari kekonyolan yg dia sebabkan.
Seorang penghela nafas sejati.
Giovanni Rahmadeva:
“Angin berhujan yang bertiup dari barat laut menuju barat daya”
Pabila suatu komukasi lisan secara tak langsung terjadi dengan Deva via media chat online misalnya, yang bersangkutan harus bisa setidaknya pernah mengambil kuliah jurusan bahasa asing di planet Saturnus. Dan apabila percakapan terjadi lebih dalam dan lama dengan dia, yang bersangkutan harus mengambil kelas ekstension di planet Uranus, akomodasi dan transportasi ditanggung sendiri.
Memang butuh keahlian khusus untuk mengerti maksud baik seorang Deva dalam setiap perkataannya yang memang astral dan cenderung metafisika secara keseluruhan. Seringkali banyak yang salah faham dan tersinggung oleh kebanyakan kata-katanya yang cenderung “Hyperrealistic”. Di mana karena teramat riilnya pandangan dia terhadap apapun, ia menjadi “surrealistic”.
Deva bisa dibilang lebih mengatur setiap keadaan yang terjadi di band ataupun apa saja yang melibatkan peran dia sebagai anggota secara otomatis, karena memang mungkin terdapat jiwa kewanitaan tangguh yang cukup berperan aktif di bagaimana otaknya bersikap. Peran itu seringkali membuat dirinya ataupun para “planeters” yang diaturnya merasa jengah akan regulasi ataupun peraturan yang di keluarkan, atau bahasa halusnya, dikemukakan olehnya. Mungkin itu semua karena maksud baik dia, yang sebenernya tidak ada kesan “sok ngatur” pabila benar2 dicermati, sering tidak tersampaikan maknanya. Dikarenakan kemutakhiran bahasa Astralnya maupun ide-idenya yang “intergalactic”.
Tetapi deva adalah penengah yang baik, bermoralkan empati kesedihan yang hanya akan tersirat dari matanya, akan berucap kasar dan kotor, sebagai penawar yang sesuai dengan keadaan yang sedang “beracun”, untuk selalu mendinginkan suasana, menjernihkan otak dengan mengotorinya melalui bahasa, menjabarkan secara macro dengan pengutaran mikroskopik, bahwasannya dunia ini tidak terbatas dan banal hanya pada ruang lingkup argumentasi yang sedang terjadi.
Deva yang selalu bisa menempatkan dirinya di berbagai ruang lintas komunitas, adalah seorang hyperrealist sejati, yang tidak segan-segan meluapkan kritikan pedas terhadap sesuatu yang dia anggap fana, dan palsu, namun acap kali akan ada penutup kalimat pujian sebagai objektivitas yang selayaknya terdapat dalam apapun yang telah terhasilkan dari sesuatu yang telah tercipta.
Sebagai seorang pragmatis rumit yang anti dogma, liberal tanpa terlalu membebaskan diri, dia adalah manusia yang cukup adil. Deva adalah spesies yang patut diteliti, dibedah dan dipelajari otaknya, terlebih bagi para mahasiswa baru bidang kedokteran.
Karaeng Ajie:
“Angin berapi berkobar dari timur laut”
Theodore Roosevelt, presiden Amerika Serikat ke 26 pernah berkata dengan tenang “speak softly and carry a big stick”, yang di terjemahkan sebagai “berkata lembut dan bawalah tongkat yang besar”. Ujaran ini seperti metaphor dimana “the bull moose” sebutan lain Teddy Roosevelt, seperti memberikan amaran bahwa, walau dengan kalimat yang halus pun, kita sudah siap untuk tempur dan menerjang keras.
Dan itu adalah amaran yang paling dingin dan menakutkan, apalagi datang dari seseorang alpha male yang pernah membunuh seorang spanyol dengan tangan kosongnya di pertempuran San Juan Hill. Tidak tahu kenapa, ketika saya berfikir tentang Aeng, saya terbayangkan secara implisit dengan imej seorang Teddy Roosevelt.
Talenta diktasi yang singkat, padat dan lugas, pasti terdapat di setiap amanat para diktator mahsyur sepanjang sejarah dunia, dan begitupun juga pada Aeng. Maklumat dan berbagai arahan berdogma logis berdialektika akan selalu terlontar pedas dari mulut Aeng, pabila sebuah argumentasi telah kehilangan arah maksud dan tujuan.
Dia akan berteriak keras, diolesi oleh kumpulan kalimat terkotor yang lucunya juga, tidak menimbulkan amarah dari pendengar, kecuali bagi para anggota bandnya sendiri, yang pasti akan membalas umpatannya bagai maklumat deklarasi perang. Tapi tidak pernah ada baku hantam yang terjadi setelahnya, karena Aeng dan segenap anggota bandnya akan tertawa lepas dan tidak memendam dendam yang biasanya tersimpan di banyak orang.
Aeng adalah seorang dogmatis sejati yang juga pragmatis. Seorang pekerja ekonomi yang adalah juga anggota organisasi pemuda wiraswasta, yang kalau bisa dibilang, jauh dari hal-hal yang berbau seni dan sejenisnya. Tapi Aeng yang berpendidikan ahli kimia ini, akan menjadi “anak seni” yang tak perlu berkostum seni ketika hadir diantara komunitas dan perhelatan seni.
Dia akan banyak terdiam, mengamati, mencerna, walau tanpa kesan peduli. seperti ketika dia di panggung sebagai vokalis, bernyanyi bagai itu adalah sebuah obligasi peran dan akan membiarkan dega, untuk berbicara kepada pendengar mereka. Sesekali akan terdengar celotahan bernada “taik kucing”, yang sering terlontar ke dega, korban serangan agresi bertubi yang kadang menjadi “bulan-bulanan” Aeng.
Peduli pada waktunya dan apabila memang perlu, akan menjadi garapan Aeng untuk berandil. Dia tidak akan ambil bagian dalam apapun, berkesan apatis, dan antipati pada setiap obrolan, kecuali ketika dia sadar, bahwa obrolan itu menuju ke sesuatu yang membikin dia mual. Tapi dia bisa melipur lara bagi yang perlu, tanpa basuhan lembut yang memanjakan.
Tanpa maksud untuk melucu, sekumpulan celotehan-celotehan konyol dan tak masuk akal akan terlontar, seperti “wah bang, om gue kerjaannya dulu nembakin kucing kalo lagi sore-sore sambil minum kopi” dan saya jawab, “pake pestol beneran eng?” dia mengangguk, dan ketika teman-temannya menertawakan hal itu, dia akan membalas, tanpa agresi berlebih, dengan “eh beneran ngentot!! Om gue emang rada gila”.
Seorang agamis tulen rendah hati tanpa harus menunjukkan, Aeng tak pernah menggurui apabila tidak dimintai pendapatnya, dan jauh dari sifat menghakimi. Baginya, semua manusia punya tanggung jawab masing-masing pada dirinya dan tuhan.
Dia adalah karakter kuat untuk menjadi pemimpin batalyon intai tempur, tapi jangan doakan dia menjadi pemimpin Indonesia, karena populasi Indonesia akan mengecil karena banyaknya hukuman mati, hanya karena membikin dia mual.
Bagaikan buah durian, Aeng akan berduri tajam di tampak mata, akan susah dikupasnya, tapi bagi yang memang suka, ketika terbuka, akan menyukai kelembutan yang tersimpan di dalamnya dan rasa yang unik yang terdapat. Tapi jangan kebanyakan, nanti “mabok”.
Xandega Tahajuansyah
“Kabut halus di ufuk barat laut”
Selalu tersenyum dan terkesan “heboh” ketika membahas hal apapun kepada siapapun. “Hah? Serius lo bro?” atau “Siap broooo, santaiii”, mungkin adalah senjata Xandega dalam menembus lingkungan sosial apapun.
Dega punya kemampuan tersendiri dalam hal ini.Ia juga tampaknya memiliki skill “speechcraft” yang tinggi, sehingga siapa yang tak kenal “Dega” di lingkungan skena yang kadang ‘sekenanya’.
Di satu sisi kegesitan Dega membawa Polka Wars ke tingkatan pengakuan sosial yang jauh lebih tinggi.
Kadang ia juga menjadi pemuka wicara yang ‘mencairkan’ ‘kebekuan’ sebuah debat kusir dalam sebuah kelompok.
Di sisi lain “keseruan” Dega kadang juga memicu kekesalan personil Polka Wars lain yang cenderung berkarakter tenang dan dingin. Menjadi
“bulan-bulanan” karena banyak kelalaian yang tidak mungkin disengaja olehnya, menjadi sarapan, makan siang, dan makan malam Dega di kala berhadapan dengan teman sebandnya.
Tapi seperti biasanya, dia akan bersikeras bahwa itu semua sudah dilakukan semampunya. Tapi alas, itupun tidak berhasil meredam kobaran api yang siap menghaguskannya.
Banyak kekosongan pemikiran tanpa basis yang konkrit, yang terasa bila Dega menjelaskan banyak info sesuatu yang baru saja dia dapat dari dunia “google” nya, dan merekomendasikan banyak hal tersebut kepada band mates nya.
Kesan itu terasa karena tanpa selisih waktu yang lama, dia akan berganti keyakinan akan info yang dia terima secepat umur nyamuk mengudara di dunia.
Hal itu bisa saja jadi metode progresifitas dia dalam berkembang dan menelaah, atau memang dia tidak tau makna utama dari yang dia dapat. Hal baru menjadi gembong kelas kakap pemikirannya dalam menentukan apa yang dia anggap “Nuevo”
Sayangnya, itu malah menjadikannya menjadi sasaran empuk untuk diberangus karena berkesan, “mengarsir” apa yang sudah ada, dan meniadakan originalitas, berkesan hanya membaca prologue dari suatu thesis, tanpa membedah unsur utama dari makalah yang ditemukan.
Hal itu menyebabkan Dega harus banyak menelan mentah-mentah cuka murahan berasam garam dari bandmatesnya. Kalimat “ya udah, udah, gue coba liat lagi deh” menjadi ucapan singkat yang sering terlontar, bilang keadaan itu menimpanya.
Keuntungan utama dari Dega bagi dirinya adalah, acap kali dia tidak pernah merasa ditekan atau di jadikan “papan panah” dari tembakan segala penjuru, karena secara gampang, dia tidak pernah peduli akan hal itu. Dia akan terus menjadi dia. Dan bagi saya itu adalah keuntungan yang bermanfaat untuk membuang dendam yang takkan ada gunanya dalam hidup.
Namun, di samping itu semua, Dega ialah contoh sempurna mewakili sosok anak muda Jakarta Selatan sekarang yang dinamis, progresif dan sporadis.
Dega ibarat irisan buah ceri segar di atas semprotan kecil krim kocok yang berada di atas sebuah kue ‘black forest’.
Polka Tanpa Dega bagai sajian martini dalam gelas limas cantik, tanpa sepotong buah zaitun hijau.
Membuat suatu persekutuan atan perhelatan yang melibatkan dua manusia saja bisa terbilang sangat susah. Konflik asal usul, kepercayaan, ide dan ego, akan selalu jadi arena utama suatu pertikaian energy yang pasti akan berbenturan dan menyebabkan meledaknya situasi menjadi panas dan tak terkendali.
Dan disini ada 4 karakter kuat yang mengadu batok kepala setiap saat mereka berada di ajang pertemuan. Tak sedikit band yang bubar dan saling patah arang, walau dalam keadaan yang bisa dibilang tentram dan damai. Tapi dalam band para hantu blau ini, keadaan yang selalu panas dan eksplosif, selalu bisa menjadi dingin dalam kesepakatan yang tak bermufakat. Namun bipolarity itu tak menyebabkan mereka ingin menjauh dari satu dengan lainnya, malah menjadi lem perekat yang kuat untuk mempersatukan mereka.
Kalau saya harus memberikan rangkuman singkat terhadap mereka, saya akan menyebut bahwa Polkawars, adalah Band paradox. Dengan ber-analogi, saya akan mengartikan mereka seperti pil anti-depresant biru dan merah, yang mana kebetulan adalah warna yang mereka usung di Album debut mereka, yang bertajuk “AXIS MUNDI” bahasa latin berartikan, “poros dunia”.
Berada di tengah adalah poros, yang mana menjadi kemungkinan besar adalah solusi mereka untuk terus bersama, dalam perbedaan kutub dan alam yang mereka punyai sejak lahir dan dibesarkan. Menelan pil biru untuk tenang, dan melumat pil merah untuk aktif dan siaga. Suatu paradox. Suatu dialektika dalam paradox, berkonsolidasi, berkompromi, dalam biru dan merah, hitam dan putih, kering dan basah, panas dan dingin.
Dan mereka takkan pernah menjual lahir dan bathin mereka untuk harga apapun juga. Semoga. Suatu paradox memang selalu membingungkan untuk ditelaah, fahami dan dijalani, tapi..bukankah hidup sepatutnya begitu?
Firza Paloh