Reda Gaudiamo sedang duduk semeja dengan Felix Dass, di atas meja terlihat selembar kertas dengan urutan lagu-lagu yang mungkin dimainkan.
“…nanti juga berubah Ric…”
Saya beberapa kali menyaksikan penampilan mbak Reda, baik dengan AriReda maupun saat tampil sendiri, seringkali memang suka-suka aja di panggung mau nyanyi apa. Di atas panggung bisa aja terjadi kesepakatan baru tentang lagu berikut di saat lagi buka-buka buku lirik atau kalai ada celetukan dari penonton. Semua tergantung mood dan inspirasi yang didapat di panggung.
Tapi kemudian mbak Reda menjawab.
“…hehehe engga kok kali ini…”
“ya lihat saja nanti”
Saya kemudian memilih meja berbeda, karena sedang menunggu teman dan ada beberapa hal yang perlu dikerjakan dengan sedikit konsentrasi.
Sudah beberapa tahun ini sejak tahun 2014 di Rrrec Fest in the Valley, saya memang memberi usaha lebih untuk bisa menyaksikan penampilan AriReda jika sedang tampil di Jakarta. Selalu teringat momen berjalan cepat menuruni bukit karena mendengar perpaduan suara begitu merdu dan harmonis, untuk kemudian tidak menyangka ternyata penyanyinya adalah duo yang sudah berkarya sejak tahun 1982. Tahun kelahiran saya. Kejadian di Tanakita, Sukabumi itu terus menempel di ingatan saya.
Tidak bisa tidak, harmonisasi suara mas Ari dan mbak Reda itu selalu mengingatkan pada Simon and Garfunkel. Sudah sejak usia belasan tahun saya itu menikmati Simon and Garfunkel dan begitu senang ada yang bernyanyi berdua seharmonis itu di Indonesia. Paul dan Art akhirnya berpisah, begitupun Ari dan Reda akhirnya terpisah oleh usia. Sedih tentu saja, namun waktu memang tidak tertebak, dan saya merasa beruntung sempat menikmati duo ini.
Penampilan mbak Reda tentu saja berbeda saat tampil sendiri, begitupun Paul Simon dan Art Garfunkel saat tampil sendiri. Namun demikian seorang seniman akan terus berproses dan sayapun merasa beruntung bisa menyaksikan mbak Reda membangun karakter dirinya yang dapat berdiri sendiri sebagai Reda Gaudiamo.
Senang melihatnya tampil (relatif) percaya diri dengan guitalele dan mic di sebuah sudut ruangan temaram di Cikini.
Venue ideal? ngga terlalu sebenarnya. Tapi akustik ruangan yang bergema teredam oleh penonton yang duduk berdempetan di lantai itu menghasilkan gema suara yang mendukung karakter suara mbak Reda. Suasana jadi lebih syahdu dan magis.
Ada 17 lagu dimainkan, sebagian besar adalah musikalisasi puisi dan dua lagu orisinil ciptaan Reda Gaudiamo. Setlist yang cukup dan pas, karena kalau lebih banyak lagi, akan banyak yang kakinya kesemutan atau terlelap terbuai suara mbak Reda.
Keberadaan dua lagu orisinil di setlist ini juga membuka episode baru perjalanan karya Reda Gaudiamo, yang tampaknya akan menyenangkan untuk diikuti.
Sebelum Reda Gaudiamo tampil, ada Irama Pantai Selatan yang bermain irama keroncong dengan ukulele. Duo ini semakin hari semakin menjadi obrolan pencinta musik.
Karena memang musik mereka itu menghibur baik secara aransemen, lirik maupun aksi panggung mereka. Seperti dua orang pencerita yang membagikan berbagai cerita dari daerah pantai.
Dua personelnya juga Arif dan Sigit memiliki karakter yang unik dan menyenangkan untuk disaksikan di panggung. Entah menggunakan kekuatan magis apa, ruangan yang tadinya berasa rada panas jadi berasa hangat tropikal saat mereka mulai setlist.
Semoga band-band semacam ini bisa semakin maju dan kreatif di masa mendatang