Penulis : Stanley Widianto
Crimson Eyes adalah album pertama dari Sigmun, berisi lagu-lagu yang dari orok sampai matang lebih sering dimainkan di jalanan. Tapi begini: saya tidak perlu menunggu album pertama Sigmun untuk mengenal apalagi menyukai musik Sigmun. eras? Iya Dentuman drum renyah? Tentu. Tapi keras hasil studio? Hmm…
Maka dari itu, Crimson Eyes adalah bukti lanjut, bukan awal. Tapi ini tergantung sih siapa yang mendengarnya, tapi reputasi Sigmun bukan amatir punya. Lagu lagu bernuansa stoner rock midtempo yang membakar secara perlahan-lahan barangkali sudah Anda dengar di variasi yang bermacam-macam, tapi beginilah rupanya jika lagu-lagu tersebut dirangkai.
Crimson Eyes merangkai lagu-lagu tersebut dengan apik. Saya berani berkata demikian karena saya bisa memetik pola dari rentetan 11 lagu tersebut: Panjang-pendek-panjang-pendek dan seterusnya. Panjang berarti lagu tersebut biasanya di atas 7 menit (“In the Horizon” “The Summoning” “Prayer of the Tempest”), sedangkan pendek biasanya terletak di antara 3 sampai 5 menit.
Saya tidak memungkiri songwriting dari Sigmun; pergerakan kunci yang mendadak lebih sering tepat sasaran dibanding meleset. Dengar saja “Halfglass Full of Poison,” “Vultures,” dan “Ozymandias”: interplay antara Andika dan Haikal tidak saling tumpang tindih. Belum lama saya kembali mendengar album-album Sleater-Kinney seperti Dig Me Out. Permainan gitar di Crimson Eyes yang sama sekali tidak tumpang tindih sangat enak didengar, sama seperti permainan Brownstein-Tucker.
Plesetan lebih sering terjadi di lagu-lagu yang panjang. Dari awal mendengarkan “In the Horizon” saya terus mengharapkan ada gubahan yang berbeda; pergerakan ekstrim dari lagu yang di menit ke 6 atau 7 (atau berapalah) tiba tiba meledak begitu saja. Tapi tidak, sayangnya. Saya tidak kecewa sehabis ditinju lagu-lagu setelahnya, tapi begitu sampai “The Summoning,” tidak ada yang mengejutkan saya.
Crimson Eyes bukan album yang sempurna, tapi keempat lagu terakhir bisa jadi berada di album yang sempurna: “Inner Sanctum” dengan pergerakan tempo yang sangat, sangat bernas di akhir-akhir, “Golden Tangerine,” lagu lambat yang dikendalikan oleh efek dan tiba-tiba terbangun dari tidur di menit keempat, dinamika dari “Aerial Chateau” dan terakhir “Ozymandias” yang telah dirilis sebagai single.
Aspek terakhir yang mendekati kesempurnaan: performa vokal Haikal yang melengking bisa membelah lagu seperti membelah kurban. Nantikan saja jika di tulisan-tulisan berikutnya ada yang membandingkan Haikal dengan Robert Plant. Ada lah satu-dua.
Tapi memang iya, Crimson Eyes bukanlah album yang sempurna (kritik terakhir: di mood tertentu, Crimson Eyes bisa jadi sangat melelahkan; saya harus memainkan album ini di dua keadaan berbeda). Dilihat dari sudut pandang tertentu, saya berpikir kalau Crimson Eyes itu lebih menyerupai album transisi dibanding magnum opus atau apalah yang Rolling Stone buat-buat. Sigmun terbentuk sudah lama dan ini adalah album pertama mereka. Saya tidak ragu satu inci pun kalau masih banyak yang mereka belum mau tunjukkan. Crimson Eyes pun saya yakin akan memuaskan banyak orang, baik mereka yang punya atau tidak punya kesabaran menunggu keluaran dari Sigmun.
Cover art for Sigmun’s debut full-length album, “Crimson Eyes”, done by Kendra Ahimsa and Reska Dwi Addry. Digital pre-order via iTunes for Crimson Eyes is now open! Hit the link below to commence with the digital pre-order. CDs will be released on 15th November for Jakarta and Bandung, other cities will follow shortly due to some unexpected delays.
Tracklist:
1. In the Horizon
2. Vultures
3. Devil in Disguise
4. Halfglass Full of Poison
5. The Summoning
6. The Gravestones
7. Prayer of Tempest
8. Inner Sanctum
9. Golden Tangerine
10. Aerial Chateau
11. Ozymandias