Memasuki episode keempat belas, kini Soundrenaline 2016 semakin banyak menyuguhkan kejutan-kejutan dari berbagai ranah kreatif. Dari musik, seni rupa, fashion, hingga film. Sebut saja salah satunya band Efek Rumah Kaca (ERK) yang didatangkan dengan formasi lengkap. Ya, mereka mengembalikan Cholil Mahmud yang sedang mengemban ilmu di Amerika Serikat ke posisinya di departmen vokal. Bisa dibilang tahun ini banyak nama-nama baru diberikan ruang berkreasi di festival bertaraf internasional seperti Soundrenaline. Tahun sekarang Sampoerna A Mild pun masih mempercayakan KILAU Indonesia sebagai promotornya. Mengambil tempat di Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali. Diselengarakan pada tanggal 3-4 September mengusung tema besar “Louder Than Ever”. Banyak pula mengajak band-band rock berkualitas dari tanah air. Dengan didukung tiga panggung gigantis, daya sound maha dashyat, serta permainan tata lampu memanjakan mata. Berikut catatan langsung pengalaman kami selama di Soundrenaline 2016.
Hari Pertama: Gempuran Musisi-Musisi Gelombang Baru Indonesia
Mungkin, hal pertama kali saya merasa tertantang meliput event ini adalah sewaktu melihat daftar para penampil. Dimana setelah dilihat, lebih banyak didominasi oleh musisi gelombang baru. Juga banyaknya local heroes dari Bali yang diberi wadah beraksi di sini. Ini merupakan kesempatan yang langka menjadi saksi atas penampilan mereka. Bukan perihal panggung kecil atau besar, gigs kecil atau besar. Tapi saya diberi kesempatan melihat kemampuan mereka di depan ratusan mata penonton. Ataupun tekanan mental yang mereka rasakan, begitu pula yang saya rasakan, meningkat dari sebelumnya. Sesampai di GWK, waktu setempat menunjukan jam empat sore, yang dimana seluruh stage akan bermain serentak. Menjajal panggung satu ke panggung lain menjadi agenda utama. Hingar bingar pun terdengar di A Stage yang dimana Morganostic, unit metal core yang berdomisili di Surabaya, sedang membredel habis telinga penonton. Mungkin juga menggetarkan dinding-dinding GWK. Beralih ke sebelah, ada Mom Called Killer salah satu local act asal Denpasar ini tampil sangar saat membawakan ‘Noisia’ di Louder Than Ever (LTE) Stage. Terdengar dari panggung lainnya, di bawah ratusan anak tangga sana ada salah satu band kebanggaan Pekanbaru yaitu Jimjack di Go A Head Stage. Genderang drum bertalu memacu semangat untuk headbang sesaat.
Terik sinar matahari yang kurang ajar menganjurkan untuk meringsek masuk dan duduk santai ke Amphitheater Stage. Dilihat dari kejauhan ternyata band instrumental rock Bandung, Ellipsis sedang mengkooptasi panggung tersebut dengan formasi bertiga. Menurut informasi dari Aulia Ramadhan (gitar) bahwa formasi Ellipsis sekarang adalah dadakan untuk Soundrenaline 2016, dikarenakan salah satu additional player mereka berhalangan hadir. Dilanjut Poison Nova (Cirebon) yang kental musik atmosferik khas Norwegian Black Metal. Ditengah aksinya, Arian 13 (vokalis Seringai) diundang naik keatas dan bersama-sama membawakan ‘Meir’ milik Kvelertak. Mau beranjak ke tempat lain lagi, apa daya kursi sudah memanjakan badan. Lagipula kami penasaran Zat Kimia, band alternative rock asal Bali yang sedang banyak direkomendasikan. Ekspetasi saya pun dipatahkan begitu saja ketika tiga lagu sudah dibawakan. Nyatanya musik nuansa 2000’an awal menyelimuti mereka. Tidak heran ketika dikulik lebih dalam, vokalisnya (Ian Joshua Stevenson) merupakan dari band Kaimsasikun. Jika kalian pernah dengar single mereka berjudul “Pria Dijajah Wanita” dia salah satunya.”Candu Baru” lagu yang menyinggung tentang perkembangan dunia maya pun masih nyangkut di kepala sampai sekarang. Sialan memang! Ku jadi candu.
Ketika senja datang saya berniat menengok ke LTE Stage sebentar. Dari kejauhan komplotan grunge Bali bernama Navicula sedang membawakan “Mafia Hukum”. Sontak semua penonton menyanyikan bait demi bait dengan membara! Melihat rundown acara, nama Kimokal sepertinya menarik. Duo trip hop yang dibantu dua personil tambahan itu sedang menghipnotis penonton. Dilanjut unit post-rock Under The Big Bright Yellow Sun (UTBBYS) mengambil alih panggung. Deruan nada-nada depresif yang dimainkan secara instrumental menjadi bumbu utamanya. Ini bukan kali pertama saya melihat aksi mereka. Hanya melihat perubahan pada posisi drum mereka yang memang jempolan bukan main. Tak heran jika lagu terakhir mereka, ‘Threshold’, diberikan standing applause satu Ampitheater Stage.
Sesudah itu, derap langkah saya percepat. Memang terdengar terburu-buru karena mengejar penampilan Isyana Sarasvati. Alhasil saya hanya mendapatkan remah-remah dara jelita tersebut membawakan lagu-lagu hits dari Queen yang dimainkan secara medley dengan aransemen dia sendiri. Dilanjut The Upstairs memberi suguhan baru. Tampil begitu enerjik. Mungkin panggung yang nyentrik dikerjakan langsung oleh teman-teman Grafis Huru-Hara merupakan faktor penyemangatnya. Dengan bucket hat merah, Jimi Multhazam cs membawa tembang-tembang yang membalikan memorabilia masa SMA saya. Salah duanya ‘Modern Bob’ dan ‘Dansa Akhir Pekan’. Tenaga maksimal diberi habis-habisan diatas panggung. Sambil menyelipkan sediki celotehan khas Jimi perihal penampil sebelumnya. Sewaktu ‘Matraman’ dipilih sebagai lagu pamungkas, terlihat dua seniman (Farid Stevy dan Ican Harem) memecah kemonotonan baris depan dengan melakukan crowd surfing. Berikutnya ada Soundrenaline Project. Sebuah kolaborasi musik gubahan Nikita Dompas yang dipilih sebagai music director khusus proyek ini. Dimana Nikita banyak mengaransemen ulang lagu-lagu pilihannya dan dinyanyikan secara bergantian oleh Kikan Namara, Marcello Tihatoe, Andy /rif, Kallula (Kimokal), dan Ratih Suryahutamy (Neonomora). Seperti ‘Dahulu’ dari The Groove sampai ‘Sendu Melagu’ kepunyaan Barasuara. Berpindah ke Ampitheater Stage terlihat massa sudah mengerubungi di baris pertama saat Goodnight Electric bermain. Spesialnya panggung ini adalah tidak ada batasan antara penonton dan penampil. Ketika penonton sudah tidak terkontrol, banyak orang yang naik ke pelataran panggung. Penjaga pun sudah kewalahan menertibkan. Menggila! Tak heran jika banyak melihat pemandangan musisi lain, seperti Farri Icksan dari The SIGIT, ikut bersenang-senang bersama. “Kayak acara sendiri nih!” ujar Felix Dass diantara kerumunan orang. ‘Am I Robot’ pun menandakan perjumpaan itu berakhir.
Walau banyak melewatkan aksi dari nama-nama besar seperti NTRL, J-Rocks, hingga Simple Plan. Tidak menyurutkan rasa penasaran terhadap kejutan apalagi yang saya dapatkan besoknya.
Hari Kedua: Kembali ke Zona 2000an
Matahari masih terlihat menyombongkan sinarnya di hari kedua Soundrenaline 2016. Masih dengan jam dan tempat yang sama di Garuda Wisnu Kencana. Tapi semua itu tidak membuat unit psychedelic-rock asal Bali ini menurunkan tensinya. Malah sebaliknya, Rollfast membakar semangat para penonton yang sudah sedari tadi menunggu penampilannya. Pria-pria gondrong ini didaulat menjadi pembuka di A Stage. Bagaimana tidak ‘membakar’ melihatnya? Keliaran Arya Triandana sang pembetot bass, gebukan drum menggebu-gebu Ayrton Maurits Willem, hingga aksi banting gitar dari Bayu Krisna tidak luput dari pandangan saya. Di sisi kanan Gungwah Brahmantia terlihat kalem seperti biasanya, dengan komando di tangan Agha Praditya. Meluncur ke bawah, Go A Head Stage, ternyata komplotan rock-ngebut asal ibukota bernama Piston ini sudah siap menggilas telinga pendengar. Nomor-nomor seperti “Hakim Tak Berpalu”, “Kembali Ke Titik Nol” tidak lewat mereka bawakan. Balik ke atas, Kelompok Penerbang Roket mengambil posisi masing-masing. Sontak baris depan dibuat tumpah ruah tak beraturan dengan mini-circle pit. Setelah kuping digerus habis-habisan dengan musik keras, beralih ke Amphitheater Stage melihat reunian singkat dari Base Jam. Banyak tembang-tembang 90an yang mereka bawakan. Tak heran banyak yang berkaraoke ria di sana. Sehabis itu The Adams tampil membalikan memori saya kembali ke masa kejayaan Aksara Records. Dibantu oleh Pandu Fuzztoni (Morfem, The Porno) dan Tercitra Winitya (L’alphalpha).
Keharuan tercipta saat Adrian Yunan membuka panggung Efek Rumah Kaca dengan “Sebelah Mata” berlatarkan warna haru biru. Memecah pertanyaan keberadaanya di panggung, Cholil Mahmud pun masuk di lagu berikutnya diikuti sang istri tercinta Irma Hidayana. Paduan suara massal pun terjadi ketika “Pasar Bisa Diciptakan” berkumandang. Ketika banyak yang request “Di Udara”, Cholil pun bercanda “Jangan lagu itulah, itu lagu politik nanti kalian terprovokasi. Mendingan kita menyanyikan lagu tentang alam. Semoga alamnya Bali semakin bagus. Semakin cantik. Oke, inilah ‘Di Udara’”. Memang sedikit menyerempet isu Reklamasi Teluk Benoa yang sedang banyak diperbincangkan tapi dengan cara ‘mulus’. Elephant Kind menjadi nama menarik untuk dilihat selanjutnya. Dengan formasi terkininya, melantunkan “Oh Well” yang membuat satu area Amphitheater Stage berdansa mengikuti beat drum. Di LTE Stage, terdapat /rif berkostumkan a la musisi-musisi glam rock. Tentu masih dengan lagu-lagu andalannya. Menjadi nilai plus adalah penampilan selanjutnya, terdapat Lolot, grup rock cita rasa Pulau Dewata. Lirik-lirik mereka menggunakan asli Bali. Mungkin banyak yang kurang paham, tapi mereka berempat memang sudah menjadi bintang rock ditempatnya. Barasuara mengambil tongkat estafet panggung itu. Aksi mereka memang selalu ditunggu-tunggu khalayak luas. Begitu pun malam itu, mereka menumpahkan totalitas tanpa batas di tiap-tiap lagunya. Serigala Militia pun mempersiapkan taringnya sehabis Iga Massardi cs menyudahkan penampilan. Walau tidak semasif seperti panggung-panggung sebelumnya, circle pit pun tetap terlaksana saat Seringai membawakan “Akselerasi Maksimum”. Di tengah-tengah daftar lagunya, “Program Party Seringai” menampilkan visual dari seniman video ternama, Fluxcup. Seruan “Individu, Individu Merdeka!” dari penonton mengawali raungan gitar “Mengadili Persepsi”. Ditutup dengan kepalan meninju ke udara saat “Dilarang Di Bandung” dibawakan.
Melewatkan The Temper Trap bukan perkara besar untuk disayangkan. Bloc Party merupakan salah satu nama yang sengaja didatangkan ke Soundrenaline 2016 berdasarkan masifnya permintaan di goaheadpeople.com. Paska hiatus dua tahun, ditambah ditinggal Matt Tong bersama Gordon Moakes, tidak membuat Kele Okereke putus asa. Bersama formasi baru, salah satu band indie-rock kebanggaan Inggris ini banyak mempromosikan materi-materi dari album kelima mereka, Hymns. “Banquet”, “Octopus”, “Helicopter” sampai “Ratchet” memuaskan saya untuk bernyanyi bersama. Diselingi pemandangan gebyar kembang api dari panggung sebelah. “This Modern Love” dipilih menjadi penutup penampilannya. Keriuhan itu pun selesai di hari kedua. Dan sekali lagi Soundrenaline 2016 berhasil membuktikan dirinya sebagai festival musik terbesar di Indonesia. Bukan hanya sekedar menyelenggarakan festival musik yang layak, tapi juga membuka ruang untuk musisi-musisi baru yang perlu banyak disorot ataupun diwadahi bagi penikmat musik luas.