Ketika akhirnya inspeksi malam itu selesai kami sedang duduk-duduk menikmati sisa anggur di emperan depan gedung dan memergoki Zu, pemilik Musikamar, sebuah kios di Blok M Square sedang mendorong satu troli berisi plat. Rendi mencegatnya. Serentak kami mengaduk isi boksnya, dan sekilas menemukan diantaranya, Suede Dogman Star, Blur Parklife, Mew yang bersampul matador dan Daydream Nation-nya Sonic Youth.
“Masih banyak lagi di mobil, belum pada diangkutin,” kata Zu sebelum akhirnya dia pergi.
“Suede kira-kira dijual berapa tuh, ya?” tanya saya pada anak-anak.
“Paling tiga setengahan,” jawab Rendi.
“Bisa lebih mungkin,” kata Tarigan. “Tapi mahal emang plat nineties sekarang.”
“Semua plat, mah kayak tai sekarang,” balas saya tertawa. “Mahal!”
“Ya mau gimana dong?” Tarigan membuka tangannya tanda pasrah. “Barang yang beredar di sini hampir semuanya import… belum kena ongkos shipping, terus di Bea Cukai dipalak lagi”.
Lagian kalau lo lihat dari jaman dulu, piringan hitam emang udah termasuk barang istimewa di sini. Nggak semua orang bisa beli plat.
Di Indo, orang-orang berduit doang yang bisa menikmati. Sisanya cuma dengerin musik dari RRI atau bocoran radio BBC.
Turntable-nya aja pasti udah mahal banget. Memang bukan untuk konsumsi massal.”
“Sekarang juga plat masuknya pajak barang mewah kalau lo order di atas beberapa ratus dolar. Padahal dulu kita sempet punya pabrik buat bikin plat,” kata Rendi.
“Iya, bego dijual ke negara lain,” timpa saya.
“Itu juga mungkin salah satu cara supaya harga plat di sini jadi lebih murah. Bikin manufaktur. Jadi nggak harus keluar negeri terus. Tapi susah banget, sih pasti, harus cari investor yang tajir berat, konglomerat mafia gitu. Bikin proyek cuci uang, jual senjata bikin pabrik plat.”
Kami bertiga tertawa. “Dan,” sahut saya lagi, “moral pedagangnya kalau buat plat-plat second… Parah-parahan sekarang harganya. Jadi ngerusak hype-nya sendiri. Apalagi plat Indonesia!”
“Itu juga susah, tuh ngurusin moral… sama aja kayak bikin pabrik plat.”
Ya begitulah.
Yang kemudian tersisa dari RSD besok hanyalah seorang pecandu pas-pasan yang setiap hari ereksi dan berharap kalau hidup masih bisa memberikannya kebaikan. Semoga budaya konsumsi piringan hitam yang begitu dibesar-besarkan ini bisa memberinya pilihan-pilihan terbaik, masuk akal dengan dosis candu seperlunya. Kalau pun jika nantinya buruk, berarti dia kurang beruntung, atau masih terlalu bodoh. Kasihan.
Lalu berapa uang yang saya punya?
Menyedihkan.
– bersambung –
oleh Dr. Marto
Tulisan ini adalah rangkaian tulisan bersambung yang dirilis dalam rangka menyambut Record Store Day 2016.
Ditulis dengan inspirasi akan pengalaman Dr.Marto di Record Store Day Jakarta tahun 2015 tahun kemarin.