Begitu malam jatuh di Tjikini 17, duo Kharis dan Eki pun memulai set mereka. Dibuka dengan kata sambutan singkat dari Dharmawan Handonowarih sebagai pemilik kedai, tepuk tangan pun bersahutan dari penonton yang padat memenuhi kedai.
Silampukau menjadi pembicaraan yang hangat setelah album “Dosa, Kota dan kenangan”. Saya sendiri juga terpukau dengan penulisan lirik yang satu frekuensi dengan kehidupan masyarakat urban kelas menengah bawah. Perkenalan pertama terjadi dengan single “Doa 1” yang membuat saya tertawa terbahak-bahak karena liriknya yang lugas, tentang anak band yang ingin sukses di jalur indie. Selanjutnya setelah mendapatkan album penuhnya, saya tersentuh dengan lagu “Balada Harian”, “Lagu Rantau (Sambat Omah)” dan “Malam Jatuh di Surabaya”. Lagu-lagu lainnya pun sangat menghibur dan terekam kuat di sanubari.
Beberapa minggu sebelum malam ini, seorang sahabat saya yang rupanya kesambet lebih dalam lagi oleh album ini. Namanya Felix Dass dan ia adalah pemersembah konser kecil ini dengan kongsi bersama Tjikini17.
Konser malam kemarin dibuka dengan “Balada Harian”, sama dengan albumnya. Selanjutnya satu demi satu lagu dari album “Dosa, Kota dan Kenangan” dibawakan, dengan urutan yang saya sudah lupa. Rupanya sebagian besar lirik sudah terekam di banyak pengunjung, mereka rata-rata sudah mempunyai lagu favorit. Menyenangkan juga ternyata banyak juga yang memiliki selera musik dan lirik yang sama.
Duo ini dibantu oleh seorang pemain bas, multi instrumentalis bernama Mayo yang juga drummer Vox, dan kadang-kadang Vega dari Vox bermain gitar tambahan.
Malam semakin larut, dan semua lagu dari album kesayangan pengunjung telah dimainkan semua. Tetapi rupanya penonton masih belum puas dan memaksa mereka kembali ke tempat duduk kehormatan. Sebuah lagu lama dimainkan, dan akhirnya hadirin bisa pulang dengan lega.
Sebuah malam Senin yang berharga dengan musik berkualitas, teman-teman berselera musik sama dan romantisme sisi lain Jakarta yang lebih menyenangkan.