Laporan “Konser Tentang Rasa.”
Tulisan oleh Stanley Widianto
Foto oleh Arum Tresnaningtyas Dayuputri
Ketika saya bilang kalau “Konser Tentang Rasa” yang diselenggarakan oleh Liga Musik Nasional adalah salah satu pementasan musik terbaik yang pernah saya saksikan, saya tidak memaksudkan ini sebagai sebuah penilaian. Saya tidak melibatkan tinta hitam/merah yang biasanya sarat di sebuah ulasan pertunjukan. Anggap saja skor 1-10 atau F-A. Bukannya ada yang salah dari sebuah ulasan; objektivitas (atau, lebih tepatnya, subjektivitas yang terukur) bukanlah sebuah tabu. Tapi alasan mengapa saya memulai tulisan ini dengan diskresi seperti ini adalah karena apa yang saya saksikan kemarin menuntut kekhusyukan yang dahsyat; kekhusyukan yang tidak mengenal cahaya dari kamera, bersin dari penonton, teriakan minta lagu, apalagi skor seperti itu.
“Konser Tentang Rasa” merupakan konser solo dari Leilani Hermiasih atau yang biasa dikenal dengan nama panggungnya Frau.
Berlokasi di ruangan audiovisual (dengan kapasitas 200 kursi) Institut Francais Indonesie, Bandung, “Konser Tentang Rasa” memang dari awal terasa sebagai sebuah pertunjukan yang intim dan hangat. Namun, apa yang saya tidak kira akan saya rasakan (dan terkejut ketika akhirnya sadar) saat memasuki lokasi adalah betapa tematiknya pertunjukan tersebut: Konser ini sengaja diperuntukan untuk menjamah panca indera manusia. Setidaknya itu yang saya simpulkan ketika tiba-tiba saya mencium bau bunga melati di tengah-tengah lagu, meminum teh tawar dari botol Tjap Piano, menuliskan kesan di secarik kertas (lengkap dengan pensil), dan tentu saja mendengar pertunjukan musik.
Mengandalkan mata dan telinga untuk menikmati “Konser Tentang Rasa” merupakan hal yang dari awal…percuma. Percuma terlalu kuat mungkin, tapi memang Limunas, menurut saya, telah merencanakan tema ini beserta artefak pendukungnya dari awal secara apik. Jatuhnya jadi tidak ada yang terasa dipaksakan. Dan teh tawarnya enak.
Tiga paragraf sudah saya buang tanpa menuliskan apa yang seharusnya menjadi atraksi utama: Musik. Konser dimulai dengan penampilan dari Deugalih—gitaris dan vokalis dari Deugalih & Folks—yang memulai set singkatnya dengan gubahan lagu Bob Dylan “The Times They Are a-Changin’.” Setelah Galih menghentikan lagunya tengah jalan karena alasan lupa lirik, barulah set benar-benar dimulai dengan membawakan lagu-lagu seperti “Anak Sungai,” “Ki Hadjar,” dan “No One Sings This Song.” Dari awal memang sulit untuk merasa gatal mengambil handphone untuk mengambil gambar. Gamblangnya: Ngapain? Galih membawakan lagu-lagunya dengan sangat emosional, dan itu sangat terpancar dari lengkingan vokalnya dan lirik yang ia tulis. Contoh ketika Galih membawakan lagu yang ia tulis dari puisi yang diberikan temannya dari Paniai, Papua. Puisi ini diberikan kepada Galih karena penulisnya—yang baru kehilangan ibunya—ingin supaya, kalau kata Galih, “orang Jawa pada tau.” Sangat senang ketika sekilas terlihat banyak mata yang sembab—mata-mata “orang Jawa.”
Barulah kemudian lampu digelapkan secara teatrikal untuk menyambut Leilani dan Oskar—duo manusia dan piano yang dikenal Frau. Penampilan yang dibuka oleh lagu baru berjudul “Sembunyi” sangatlah—saya kesulitan mencari bahasa Indonesianya—commanding. Ada sebuah kehangatan yang terpancar dari penampilan serta kisah-kisah Lani yang biasanya mengawali lagu. Dari sini saya, jujur saja, terpukau menyaksikan “Konser Tentang Rasa.” Berulang kali saya fokus melihat gerak-gerik Lani saat memainkan piano dan bernyanyi secara jernih; telinga saya sudah siap grak. “The Butcher/Tukang Jagal,” “Berita Perjalanan,” (gubahan dari puisi milik Sitor Situmorang) “Arah,” “Tarian Sari,” dimainkan secara apik dengan pergantian kord yang mendadak—seperti yang terpatri di kedua album Frau. Terlintas kesan di benak saya kalau mungkin ada kalanya Lani merubah alur lagu dadakan (karena mau saja), tapi mungkin itu tidak benar. Lagu-lagu Frau memiliki kualitas seperti itu—seakan-akan direkam on the spot tapi dengan struktur yang sangat rapi.
Selain menampilkan beberapa lagu dari katalog Frau sendirian, Lani mengundang Rara Sekar, salah satu dari duo Banda Neira, untuk duet dalam lagu milik grup band asal Bandung tersebut berjudul “Rindu.” Menurut pengakuan Rara, ia dan Lani adalah sang duo awkward—memicu tawa dari penonton—sebelum melantunkan balada indah tersebut. Sebelumnya, untuk “Mr. Wolf” dan “I’m a Sir,” Frau mengundang Erson, pemain trumpet yang menambah keceriaan dari lagu-lagu tersebut. Lani sempat berkata kalau mungkin di panggung cuma piano saja mungkin membosankan, makanya ada yang bermain trumpet.
Handphone masih duduk tenang dalam kantong celana. Bersin masih ditahan.
Penampilan Frau dibagi dalam dua bagian, dan menjelang bagian kedua setelah jeda selama 5 menit, penonton dibagikan minuman yang bervariasi; ada wedang jahe, susu, jeruk dan teh tawar. Merasa lega, saya langsung tenggak minuman saya tanpa mengetahui kalau ada maksud filosofis dari botol custom-made tersebut. Lanjut dengan lagu-lagu seperti “Mesin Penenun Hujan,” “Arah,” dan rendisi dari lagu band Radiohead “Fake Plastic Trees.” Di sela-sela lagu, Lani bercerita tentang inspirasinya dari sebuah lukisan yang ia tuang ke dalam lagu “The Butcher,” lagu-lagu yang membekas (“Tarian Sari,” lagu favorit saya sepanjang set, tapi ini sulit untuk disimpulkan) dan semacamnya. Mungkin terlalu jauh, tapi ada perbedaan yang mencolok ketika lampu dinyalakan dan dimatikan; antara Frau dan Leilani Hermiasih.
Set ditutup dengan gubahan lagu Melancholic Bitch yaitu “Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa”—memicu nyanyian dari penonton. Secara alamiah, ada teriakan ‘lagi, lagi’ untuk menyambut kembali Frau yang kemudian memainkan lagu yang “sudah siap”: Loco Mosquito oleh Iggy Pop. Dengan itu usai rangkaian acara “Konser Tentang Rasa.” Mungkin acara di IFI kemarin sudah selesai di hari itu juga, tapi saya berharap kalau konser tematis seperti itu tidak berhenti sampai di situ saja.
Apa yang berhasil dilaksanakan oleh Limunas, Frau, dan Deugalih adalah mengingatkan kalau ada yang lebih dalam sebuah pertunjukan musik dari sekedar komoditas semata. Mudah untuk sinis dalam menyikapi konser tematik seperti ini; “palingan gimmick.”. Limunas, Frau dan Deugalih berhasil bukan karena ini adalah hal yang baru; mereka berhasil karena mampu mengingatkan siapapun yang lupa akan apresiasi musik di era sekarang.
Hanya butuh tiga jam kok. Tidak lebih, tidak kurang.